Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Surat Tak Beralamat

Kembali aku merapikan mejaku; tempat aku merapal rindu, mengusir sendu. Tempat cinta tersesat, bersama tumpukan surat tak beralamat. Baiklah, aku berbohong. Bukan tak beralamat, tapi hanya berat. Dan berkarat. Lembar-lembar yang seharusnya berlabuh di binar matamu, malah terdampar di lautan kepenakutan. Menatap ke luar jendela tak selamanya menenangkan. Bayang-bayang kenangan melambai pelan, sayup-sayup perjuangan membangunkan. Menolak untuk menyerah, tapi terlalu takut untuk kalah. Katamu kau menyukai seorang pria, tapi hatiku bilang itu bukan untuknya. Aku yang salah terka, atau kau yang tak peka? Perihal hujan, tak perlu aku khawatirkan. Hanya ia yang mau berteman. Dan pengertian. Yang datangnya pun, walau tak menghangatkan, tapi selalu berhasil menguatkan. Mengajarkan bahwa kau dan aku hanya dipisahkan oleh kesabaran. Sabar melawan kenestapaan. Sabar pada waktu yang tak mau tahu. Dan sabar jika pada akhirnya kau bukan untukku. Mengertilah, rindu ini menunggu untuk dib

Memaknai Kembang Api

Memaknai Kembang Api Bisakah sebentar saja kau duduk di sini? Di sebelahku, menemaniku menikmati kembang api yang sedari tadi memanggil untuk diperhatikan. Lupakan sejenak penat atau sesak tentang apapun itu, yang mungkin telah bersemayam sedari lama di dalam benakmu. Atau benakku. Ah tidak, aku lupa, kau bahkan tak tahu bahwa apa yang menjadi bebanmu, akan terus mengangguku, bagaimana pun itu. Indah bukan? Kilauan kembang api yang tengah memenuhi langit? Ragam warna sekarang tergambar penuh tepat di depan kita. Terpancar jelas raut kegembiraan keluar dari tatapanmu. Dan senyum lebarmu. Ah tak apa, aku tak begitu tertarik dengan kemilau di depanku, hanya karena ada kamu di sampingku. Bagaimana mungkin ciptaan manusia bisa menandingi ciptaan Tuhan. Malam ini kian lengkap dengan bahan pembicaraanmu yang selalu menarik bagiku. Apapun itu. Tentang kamu yang tidak habis pikir kenapa harus ada orang jahat di dunia ini? Bukankah dunia ini harusnya tempat yang seharusnya dinikmati

Dialog Rindu Melawan Waktu; Chapter 2 : Lelaki Pecinta Subuh

Chapter 2 : Lelaki Pecinta Subuh Sayup-sayup adzan subuh berkumandang, memanggil para pemeluk agama Islam untuk bangun menunaikan ibadah wajib sholat subuh. Udara dingin pagi di luar, yang sangat berlawanan ketika siang telah datang, seolah membantu tugas para kasur yang empuk dan selimut yang hangat untuk menggoyahkan iman para pejuang subuh. Kombinasi ini sangat ampuh. Alarm dari smartphone yang sedari tadi telah berteriak keras, seketika bungkam dengan fitur snooze yang tersedia. Kebanyakan memang seperti itu. Teori itu tak berlaku untuk seseorang yang kini tengah menghadap cermin sebadan yang tergantung di samping lemari bajunya, sambil menggulung sarung biru tua pemberian ayahnya. Setelah menggunakan wewangian, lelaki ini pun mengunci pintu kamarnya, dan berjalan pelan menuju ke masjid yang jaraknya kira-kira 500 meter dari tempat tinggalnya. Sepulangnya dari masjid, lelaki itu duduk di depan kamarnya, sambil mengecek pemberitahuan masuk di HP nya yang dari tadi m

Rasa Yang Tak Berdosa

Dalam diam Ada luka yang tertawa riang Dan hening yang menangis terlalu dalam Lagu Tiga Pagi yang dilantunkan oleh Fletch itu seakan ditujukan untukku. Kekhawatiran melahap diriku, seperti singa yang tengah menggigit mangsanya. Lampu jalan pun meredup, seakan mengerti akan suasana yang memang tengah sedang tidak baik-baik saja. Angin malam pun terkekeh menertawaiku, yang mengaku lelaki, tapi bahkan tidak berani melontarkan satu dari sekian banyak pertanyaan yang terkurung, dan terkunci rapat di gudang kepenasaran. Aku bahkan tidak tahu apapun tentang dirimu. Apa makanan yang kamu suka. Apa lagu favoritmu. Apa hal yang dapat membuat jengkel. Apapun, aku tak tahu. Yang aku tahu, cinta datang dalam berbagai cara. Baik yang biasa, maupun yang tak dapat diterka. Tanpa jumpa, tanpa banyak kata, apakah mungkin timbul rasa? Apakah awal dari sebuah janji suci harus melulu tentang berapa banyak waktu yang telah dilalui bersama? Kurasa tidak. Banyak contoh tentang sepasang kekasi

Dialog Rindu Melawan Waktu; Chapter 1 : Sore di pinggir kota

Chapter 1 : Sore di pinggir kota “ Kau benar-benar ingin ke sana?” “Tentu! Aku sangat bosan berada di kosan melulu. Sesekali aku ingin pergi melihat apapun di luar pada sore hari. Walau hanya kerbau mandi di kubangan, aku tentu sudah sangat senang!” Siapa yang tahan dengan kehidupan monoton? Setidaknya hal itulah yang mendorong Gina membujuk temannya, Ana untuk menemani Gina berjalan-jalan sore, ke mana pun itu. Entah ke pinggir jembatan sambil menikmati es tebu dengan harga lima ribu, atau pergi ke taman kota menikmati danau buatan yang airnya sangat bening. “Makanya cari pacar dong, Gina! Jangan aku terus yang kau paksa untuk menemanimu ke mana pun engkau mau!” dengus Ana seraya mengambil jaket merah maroon yang sedari tadi tergantung di kursi. “Aku ada pacar kok. Tapi lagi LDR” “Iya LDR, di masa depan kan? Klasik!” “Emang paling tahu deh, gemes” “Hitungan 10 kau belum siap, aku akan tidur lagi” “Sabar dong bos, jangan kayak praja gitu dong!” Ujar

Pelangi di Bakauheni

Gambar
Pelangi di Bakauheni Semacam kopi hitam di pagi hari Walau pahit, selalu jadi penenang hati Jumpa pertama mengisyaratkan Akan dimulainya sebuah perjalanan Semacam hujan di sore itu Setiap rintiknya menghapus rindu Tanah basah menjadi saksi Bahwa aku tak pernah sendiri Semacam pelangi di Bakauheni Menikmati indah walau dibohongi Membungkus tawa berbalut semu Pura-pura lupa kebersamaan terkikis oleh waktu Rasanya tak ada lagi yang harus ditunggu Tinggal aku bersama tumpukan masa lalu Tegarlah kalian, sahabatku Jika nanti kalian lelah Ingat janji kita untuk bermusuhan dengan kalah

Mengusir Rindu

Gambar
Di sinilah aku. Masih di tempat pertama kita berkumpul, berhimpun menjadi sebuah kelompok kecil yang berprinsip “Selo be dak”. Bagi kalian yang tidak paham, prinsip itu berarti : Tenang. Semua ada waktunya. Tidak perlu buru-buru. Apa yang kau kejar? Pada akhirnya kita akan finish di tempat yang sama. Garis akhir tak akan berpindah. Akan selalu setia menunggu, menyambut hangat dengan syarat tetap bertahan di lintasan. Ketidakberdayaanku menyimpan hal yang biasa disapa sebagai rindu pun, berakhir pada sebuah tulisan yang bahkan aku tak tau akan dibawa ke mana. Tidak. Kalian salah besar jika berfikir bahwa sekumpulan orang yang sedang kumaksud ini dapat menerima ekspresi rindu selayaknya orang normal. Mereka akan jijik mendengar kata “aku rindu”, terlebih kalau itu dari diriku. Dapat kubayangkan ekspresi yang akan dibuat oleh mereka, seolah-olah aku baru saja terjatuh di kubangan lumpur. Semua tak akan sama. Salahkan saja waktu yang berkuasa memisahkan kebersamaan. Itupun jika ka