Surat Tak Beralamat

Kembali aku merapikan mejaku; tempat aku merapal rindu, mengusir sendu. Tempat cinta tersesat, bersama tumpukan surat tak beralamat. Baiklah, aku berbohong. Bukan tak beralamat, tapi hanya berat. Dan berkarat. Lembar-lembar yang seharusnya berlabuh di binar matamu, malah terdampar di lautan kepenakutan.

Menatap ke luar jendela tak selamanya menenangkan. Bayang-bayang kenangan melambai pelan, sayup-sayup perjuangan membangunkan. Menolak untuk menyerah, tapi terlalu takut untuk kalah. Katamu kau menyukai seorang pria, tapi hatiku bilang itu bukan untuknya. Aku yang salah terka, atau kau yang tak peka?

Perihal hujan, tak perlu aku khawatirkan. Hanya ia yang mau berteman. Dan pengertian. Yang datangnya pun, walau tak menghangatkan, tapi selalu berhasil menguatkan. Mengajarkan bahwa kau dan aku hanya dipisahkan oleh kesabaran. Sabar melawan kenestapaan. Sabar pada waktu yang tak mau tahu. Dan sabar jika pada akhirnya kau bukan untukku.


Mengertilah, rindu ini menunggu untuk dibebaskan. Tumpukan aksara ini telah lelah tak bertuan. Maka dari itu, tolong kau beritahu; Perihal hatimu, bolehkah aku berlabuh?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Rindu Melawan Waktu; Chapter 2 : Lelaki Pecinta Subuh

Atas Nama Ketidakpastian, Aku Menyerah.

Gadis Sepertiga Malam