Rasa Yang Tak Berdosa

Dalam diam
Ada luka yang tertawa riang
Dan hening yang menangis terlalu dalam

Lagu Tiga Pagi yang dilantunkan oleh Fletch itu seakan ditujukan untukku. Kekhawatiran melahap diriku, seperti singa yang tengah menggigit mangsanya. Lampu jalan pun meredup, seakan mengerti akan suasana yang memang tengah sedang tidak baik-baik saja. Angin malam pun terkekeh menertawaiku, yang mengaku lelaki, tapi bahkan tidak berani melontarkan satu dari sekian banyak pertanyaan yang terkurung, dan terkunci rapat di gudang kepenasaran.

Aku bahkan tidak tahu apapun tentang dirimu. Apa makanan yang kamu suka. Apa lagu favoritmu. Apa hal yang dapat membuat jengkel. Apapun, aku tak tahu. Yang aku tahu, cinta datang dalam berbagai cara. Baik yang biasa, maupun yang tak dapat diterka.

Tanpa jumpa, tanpa banyak kata, apakah mungkin timbul rasa? Apakah awal dari sebuah janji suci harus melulu tentang berapa banyak waktu yang telah dilalui bersama? Kurasa tidak. Banyak contoh tentang sepasang kekasih yang telah merajut rasa selama bertahun-tahun, malah kandas dimakan asa.
Memikirkan keseharianmu, layaknya teka-teki yang tak bosan kubayangkan. Tentang bagaimana kau melewati harimu, peliknya tugas yang tengah kau kerjakan, atau sekedar soal apakah kau tersenyum hari ini. Terkadang aku cukup beruntung ketika aku melihat temanmu memposting harinya bersamamu. Ah, memang bahagia itu sederhana. Setidaknya untuk orang yang mensyukuri nikmatNya.

Tak jarang hati dihardik oleh logika.Seperti malam ini, di depan teras rumah berteman sepi, lagi-lagi logika menyudutkan hati. Bahwasanya bagaimana mungkin dua orang yang nyaris tak pernah bertukar kabar, akan bersama menjalin cinta yang tak akan sedikitpun pudar?

 Logika menggerutu, namun hati tetap bersikukuh. Pertengkaran malam ini, kembali membuat logika pulang dengan berang.

Entahlah, akupun sependapat dengan hati bahwa mungkin karena cinta yang datang dengan berbagai cara, menyatukannya dua hati pun juga pasti tak selalu dengan cara yang biasa. Biarlah, biar aku di sini dengan rasa yang tak berdosa. Dan kau di sana, berjuang demi cita-cita. Untuk sementara, tak apa hati dan logika saling bertengkar.

Semoga kelak di waktu yang tepat, aku akan mendamaikan mereka. Demi hati yang ingin dimengerti, dan demi logika yang tak mau sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Rindu Melawan Waktu; Chapter 2 : Lelaki Pecinta Subuh

Atas Nama Ketidakpastian, Aku Menyerah.

Gadis Sepertiga Malam