Tentang Waktu Yang Tak Mau Tahu


“Kau bertanya apa tadi, coba ulangi?” Ujarmu sambil menjauhkan segelas teh hangat yang sudah kosong.

“Makanya, kalau orang ngomong, diperhatikan.” Balasku setengah merengut.

“Jika kau harus memilih, mana yang akan kau pilih : Membaca apa yang difikirkan oleh orang lain, atau Mengendalikan waktu?” Ulangku seraya menatap matamu lekat.

Kau memainkan sumpit makanmu, seraya menatap sudut-sudut ruko, layaknya tengah mencari jawaban yang barangkali bersembunyi entah di mana.

“Mmm... Aku akan memilih mengendalikan waktu!” Jawabmu akhirnya.

“Lah? Bukankah waktu sudah menjalankan tugasnya dengan baik?” Sergahku kebingungan.

“Baik apanya? Waktu telah merenggut segalanya dariku.” Balasmu lirih.

“Waktu menjadi tersangka yang telah merebut orang yang aku cinta pergi, dan tak akan kembali.” Sambungmu kini dengan nada yang lebih tinggi.

Wajahmu mulai memerah, semerah jilbab yang tengah kau kenakan. Terlihat kemarahan dan kesedihan tengah menguasai dirimu.Menanggalkan sosok ceria yang melekat pada dirimu, karakter yang selama ini kau suguhkan ke semua orang. Semua orang kecuali aku.

“Bukankah karena waktu, aku tak bisa menatap wajah ayah lagi? Atau sekedar mendengar suara beratnya ketika menelfonku membangunkan sholat subuh? Waktu tak sebaik yang orang kira.” Ucapmu menyelasaikan pemikiranmu.

“Tapi, bukankah karena waktu juga, kau dapat merasakan cinta dan kasih sayang dari keluargamu? Dari orang terdekatmu?” Ujarku akhirnya berani berpendapat.

“Memang waktu terkadang menjadi momok menakutkan, terlebih kalau membicarakan tentang kehilangan. Tapi dibalik itu, waktu memang berperan sempurna. Waktu dapat memutihkan yang hitam, menyembuhkan yang luka, atau bahkan memuliakan cinta untuk orang yang menjaganya.” Ucapku tenang.

“Kau benar. Maafkan aku yang tak tahu malu ini yang telah berburuk sangka kepada waktu. Aku hanya.... rindu.” Balasmu yang akhirnya mampu tersenyum kembali.

“Tak apa, rindumu biarlah begitu. Tak terbendung oleh apapun. Hanya saja, jadikanlah itu kekuatanmu, yang tak melulu tentang sendu.” Kataku seraya berdiri dari kursi kayu tempatku duduk.

Percakapan malam ini menjadi saksi, bahwa hati tak bisa dibohongi. Sekalipun untuk orang periang sepertimu. Memang benar, waktu terkadang menjadi tokoh antagonis yang menyebalkan. Di tengah- tengah kebahagiaan yang tersaji, waktu datang dengan angkuh menagih janji. Kebanyakan tentang perpisahan, yang notabenenya memang telah ditakdirkan. Tugas kita hanyalah menjalani, serta menikmati. Sambil berharap, bahwa semua yang kita cintai, akan bertemu di SurgaNya nanti.

Credit Photo : rumahtarbiyah.com







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehabisan Kata

Ternyata....

LILIN