Gadis Sepertiga Malam

Gadis Sepertiga Malam

Pertemuan tak selamanya indah seperti yang disuguhkan di televisi. Adegan tak sengaja bertabrakan di lorong sekolah,dengan berjatuhannya buku bawaan  bersama dengan jatuhnya hati dua insan yang bahkan tidak pernah saling jumpa. Kalimat klise seperti “Kamu tidak apa?” menjadi alat pencair suasana yang sejatinya tidak dingin sekalipun.
Atau bahkan ketika sang perempuan duduk termenung di halte bis, sembari menunggu sinar matahari yang sedang enggan menampilkan cahayanya karena sang hujan dengan angkuhnya datang mengambil alih keadaan, tiba-tiba muncul pria tampan berpenampilan menarik yang hanya diam seraya menyerahkan jaket hoodie kesayangannya, menjadikan itu tanda perkenalan yang begitu romantis.
Tidak. Pertemuan tak selalu seindah itu. Setidaknya itu yang aku pastikan dan rasakan ketika saat jumpa pertama kita: saat kau dan aku, belum menjadi kita. Tak ada satu hal pun yang harus mendorong imajinasiku untuk berangan, atu bahkan sekilas pemikiran bahwa kau dan aku akan berkenalan jauh, terkoneksi dengan rasa, tanpa butuh sedikitpun kata untuk seirama.
Aku tak percaya hal seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagiku semua begitu palsu, bahkan naif ketika orang-orang bilang mereka merasakannya. Nafsu. Ya, kata itu begitu cocok untuk hal semacam cinta pada pandangan pertama. Akhirnya akan selalu sama, fase lihat-kenalan-cocok-pacaran-bertengkar-lalu putus itu kan selalu terulang dengan cinta yang dilandasi dengan love at first sight.
Pertemuan pertama kita berlalu begitu saja. Seperti orang yang kita temui sehari-hari di angkutan umum. Seperti angin yang berhembus pelan berbisik kepada banner kegiatan kampus. Tak ada yang peduli, tak ada yang menghiraukan. Obrolan hangat yang disajikan oleh temanku serta temanmu disaat kita berkumpul, hanyalah sarana pendekatan sebagai anggota baru di salah satu unit kegiatan kampus yang kebetulan tempat kita dipersatukan.
Tapi entah kenapa masih terekam jelas di memoriku, sejelas wajah orangtuaku yang selalu menjadi asalan dalam setiap hembus nafasku untuk tetap menjalani hidup dengan penuh perjuangan, tentang hal pertama yang kita bicarakan. Hal tentang senyawa yang kau buat bewarna hitam, kau menyebutnya itu kopi. Dan aku dengan lugu dan polosnya pun mengangguk percaya  atas pernyataanmu. Anggukanku seakan menjadi pemicu ledak tawamu yang tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuatku seakan ingin mempunyai keahlian menghentikan waktu, demi memandangi mu lebih lama, dan tak ada habisnya.

Adalah benar, ketika bunga seakan bernyanyi, mengiringi langkahku menuju tempat dimana kau menunggu. Walau bukan menungguku,melainkan rapat persiapan untuk acara yang organisasi kita adakan, paling tidak kita dipersatukan dalam kepanitiaan yang sama. Adalah benar, waktu berjalan begitu pelan, seolah enggan untuk berganti ke hari di mana aku akan menjemputmu untuk pergi bersama pada hari acara kita dimulai. Memang waktu akan terasa lama untuk dia yang menunggu, dan terasa  cepat untuk dia yang tak berharap.
Tatapan teduhmu, mengisyaratkanku untuk selalu percaya bahwa tak ada satupun yang dinamakan kebetulan. Rencana-Nya selalu lebih indah daripada angan-angan yang kubuat sebelum tidurku perihal cara romantisku kelak mendapatkan wanita yang nantinya akan kupanggil “rumah”.
Waktu selalu mempunyai peran penting atas tumbuhnya cinta disetiap inchi nya. Waktu dapat memutihkan yang hitam, menyembuhkan yang luka, atau bahkan memuliakan cinta untuk orang yang menjaganya. Waktu pun menjadi tersangka yang telah membunuh semua hal buruk yang mengancam untuk mengusir gelora cinta yang membara. Waktu seakan tau akan tugasnya untuk menumbuhkan rasa percaya dan melahirkan kalimat indah seperti “Cinta datang karena terbiasa”.
Setidaknya hal ini lah yang kupegang teguh ketika aku memutuskan untuk membiarkan hatiku dirampas dengan lembut oleh perempuan yang selalu menghadirkan kehangatan, dengan hanya berada di dekatnya. Semua cerita tentang hari-harimu, menjadi nada-nada syahdu yang tak pernah membuatku bosan. Biarlah, aku rela hanya duduk diam sambil tersenyum dan memandang lekat matamu,seraya mendengar celotehanmu tentang teman-temanmu yang tak membiarkanmu diet, atau bahkan omelanmu ketika mereka mencoba menganggu tidurmu, hanya untuk menemani mereka mencuci baju.
Entah deru cinta ini hanya aku yang rasakan, ataupun kau juga merasakan hangatnya kasih sayang yang tengah ku rajut. Aku tak tahu. Atau,aku tak mau tau. Atau, aku tak berani untuk tau. Entahlah, aku bahkan tak sanggup memikirkan skenario terburuk yang akan kualami dalam perjuangan ini. Setiap jalan yang telah dipilih, memiliki teka-teki,rintangan,serta hasil yang tidak diketahui telah menunggu di ujung jalan. Begitu juga memilih untuk mencintaimu. Kepecundangan itu mengarahkanku ke goa ketidaktauan atas apa yang kau rasakan, seakan menyuruhku menunggu untuk mendapatkan hasil pada waktu yang tidak ditentukan.
Efek yang didapatkan setelah mendeklarasikan ikhlasnya aku menjadi sandera dalam penjara cintamu, berwujud dalam sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang mampu membuatku terjaga setelah melalui hari-hari dengan rutinitas yang bahkan membuat waktu makanku tak teratur. Pertanyaan atas pemikiran yang merupakan terkaan dari semua kemungkinan yang kau rasa. Apakah kau merasakan hal yang sama? Apakah tak ada orang lain yang sedang menjadi rivalku untuk memenangi kepedulianmu? Atau sebuah pertanyaan singkat: apakah kau juga mencintaiku?
 Walau begitu, bukan cinta namanya jika tak berani menembus gelapnya ketidaktahuan. Bukankah cinta lebih butuh perjuangan dan pembuktian daripada sekedar janji dan omong kosong belaka? Maka dari itu, demi menebas ketakutan dan keraguan yang mengancam untuk mundur, akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan senjata pamungkasku. Senjata yang siap melenyapkan seluruh kecemasan hingga habis tak tersisa.
Do’a adalah nama senjata terkuat itu. Senjata terkuat yang aku punya, yang membuatku kembali percaya dan berani untuk berjuang, selama aku masih memegang senjata ini. Do’a membuat semua tembok tinggi yang dikenal sebagai ketakutan akan runtuh dan hancur berkeping. Jikalau benar ada orang yang tengah memperjuangkanmu, aku tak kan diam saja. Bukan berarti aku akan melakukan hal bodoh yang dianggap sebagian orang romantis, dengan mencari tau dan melabrak orang yang tengah mendekatimu sekaligus mengancamnya untuk menjauhimu. Tidak, itu bukan caraku. Bangun ketika orang lain tidur pulas dengan mimpi-mimpi mereka, membasahi beberapa bagian tubuhku dan menggelar sajadah demi meminta dan memohon kepada-Nya untuk dipersatukan denganmu dalam ikatan yang sah, merupakan cara yang kuanggap begitu romantis. Ya, akan kurebut dirimu dari mereka yang mendekatimu, dengan do’a di sepertiga malamku. Romantis bukan?
Cinta memang bukan tentang alasan kenapa aku mencintaimu. Cinta adalah pembuktian; Atas janji yang bahkan belum terucap, atas cara menyalurkan luapan sayang yang membara, atas perjuangan yang dimotori oleh do’a setiap waktu. Maka dari itu, izinkan aku berjuang. Izinkan aku membuktikan kepadamu, bahwa cintaku bukan cinta seperti kopi; yang nikmat disaat panas, dan getir disaat dingin.
Duhai dirimu, gadis sepertiga malamku. Apakah kau ingin tau apa isi do’a ku? Baiklah, akan kukatakan kepadamu sebagai hadiah untuk dirimu, wanita yang menjadi alasanku bersemangat menjadi pria yang tegar dan bertanggung jawab.
Do’a ku adalah : Semoga kau selalu bahagia. Dan semoga aku termasuk di dalam skema kebahagiaanmu.

            

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Rindu Melawan Waktu; Chapter 2 : Lelaki Pecinta Subuh

Atas Nama Ketidakpastian, Aku Menyerah.