Atas Nama Ketidakpastian, Aku Menyerah.
Ya.
Lelaki sepertiku memang tak punya nyali. Mengucapkan salam perkenalan denganmu saja,
mulut seakan bersaudara dengan es. Seketika kelu dan membeku, tak mampu mengucap.
Apa mungkin karena dirimu... bidadari tak bersayap?
Disaat teman-temanku mencoba menarik
perhatianmu dengan segala cara yang mereka tahu, aku disini malah membisu.
Bodohnya, aku malah keluar dari ruangan tempat kita dipersatukan. Berdalih
mencuci muka agar tidak mengantuk, padahal sejatinya hanya ingin menyembunyikan
hati yang remuk.
Walaupun waktu mengambil peran
penting yang berkatnya kamu dan aku akhirnya sudah mulai bercengkrama,
kepecundangan bangkit seraya menampar keras dan seolah berteriak : Kamu takkan
pernah pantas bersamanya.
Ketika akhirnya aku berani
menyatakan perasaanku kepadamu, kamu tak akan pernah tahu bagaimana terik
matahari di tengah taman bunga yang tengah mekar, berubah menjadi semilir angin
sepoi-sepoi yang meneduhkan. Bagaimana bau asap knalpot angkutan umum berubah
menjadi wangi mawar yang selalu berhasil membuat hati siapapun takluk.
Hiperbola memang. Tapi menurutku hanya orang yang kehilangan akal sehatnya yang
tak bahagia ketika primadona seluruh muka bumi juga jatuh hati padanya.
Seorang pemalu akan sangat cocok
dengan seorang yang cerewet. Yang satu suka bercerita, yang satu hobi
mendengar. Ujian seakan tidak kapok mendatangiku. Cinta seorang pendiam dan
pemalu, sungguh sangat lucu. Terkadang, langit senja bertanya ada apa dengan
sepasang insan dengan mulut terkunci, saling mencuri-curi pandang sesama,
sehingga wajah mereka merona merah, hampir mengalahkan merah langit pada saat
itu.
Perlahan tapi pasti, aku dan kamu mulai
mengerti merangkai kata. Hari-hariku yang semula hampa, kini perlahan menjadi
berwarna. Meski tak jarang kamu bungkam karena aku tak peka. Menerka bukanlah
keahlianku. Maka dari itu aku selalu punya seribu cara untuk membujukmu memberi
tahu kepadaku, apa yang membuat dirimu dirundung pilu. Senyum indahmu selalu
berhasil membuatku tertawa di dalam hati, terlebih saat melihat tatapan sinis
dan iri para lelaki ketika melihatmu tersenyum, sambil menggandeng tanganku.
***
Cinta selalu punya teka-tekinya
sendiri. Perihal datang yang bahkan tanpa suara, masuk tanpa mengetuk, hingga
ketika pergi tanpa basa-basi. Di sudut mataku, aku lihat kamu yang tengah
berjalan menghampiriku. Kepalamu tunduk, perasaanku campur aduk. Dalam diam, terus
kupandang dirimu yang kini duduk di sebelahku, bungkam seribu bahasa. Hamparan
indah taman bunga yang seharusnya sekarang kita nikmati bersama, bahkan tak
mampu membuatku berpaling sedikitpun kepadamu. Lampu taman yang redup, seolah
ikut memberitahu, ada yang salah dengan dirimu. Perlahan air matamu menitik, pelan tak
berisik, tapi mampu membuat jantungku berhenti berdegup selama sepersekian
detik.
“Ada
apa?” Tanyaku bak orang bodoh.
Hening.
Tak ada jawaban.
“Sudah
kubilang, ketika ada yang kamu fikirkan, beritahu aku” Sambungku lirih.
Masih
tak ada jawaban. Yang ada malah air matamu
kembali menetes, kali ini lebih deras. Seolah aku telah membuka keran
yang sedari tadi susah payah kamu tahan.
“Jangan
kamu anggap aku tak ada,Syifa” Ujarku putus asa.
Ditengah
tangismu yang tak kunjung reda, pikiranku kacau balau. Bahkan saat ini, aku
malah mencoba mengingat arti dari nama wanita pilihanku ini. Syifa Ayu Nisrin.
Syifa yang berarti Obat, Ayu yang bermakna cantik, sedangkan Nisrin merupakan
presentasi dari bunga mawar putih yang harum semerbak.
“Aku
tak sanggup, Rasyid” Ucapmu parau.
Seketika bisu yang sedari tadi
mengendalikan Syifa, hanya dengan satu
kalimat singkat sukses berpindah kepadaku. Mulutku bungkam, otakku sedang
berlagak menjadi detektif, mencari tahu tentang apa yang sebenarnya kamu
maksud.
“Apa maksudmu?” Dari sekian ribu pertanyaan yang sangat ingin
kutanyakan padamu, hanya dua kata sederhana itu yang sanggup keluar, meluruskan
lidah keluku.
“Kita ini sebenarnya apa?” Sergahmu
tercekat.
“Sekali lagi, apa maksudmu, Syifa?
Aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan!” Ujarku
gusar.
“Rasyid, Aku tahu kamu lelaki
cerdas. Takkan mungkin kamu bisa menjadi pemimpin sebuah organisasi kalau kamu
bukan lelaki cerdas.” Balasmu cepat.
“Bagaimana mungkin kamu tak tahu
arah tujuan bicaraku, padahal sudah sejelas itu pertanyaanku” Sambungmu sambil
menatap kearahku, tak percaya bahwa aku tak mengerti apa yang ingin kamu
utarakan.
Aku kembali mematung. Seorang yang tak peka,
tak akan pernah bisa menjadi ahli terka.
“Salahkah aku bila aku mencintaimu,
Syifa?” Tanyaku pelan
“Cinta tak pernah salah, Rasyid.”
Ujarmu seraya menatapku dalam.
“Lalu
apa yang salah?!” Balasku yang tengah kebingungan dengan makna di setiap
ucapanmu.
“Tak
terfikirkah olehmu, bahwa apa yang kita lakukan ini sekarang salah?!” Suaramu
meninggi.
“Kita bahkan tidak pacaran, Syifa! Apa
salahnya? Kita telah berjanji,berkomitmen, untuk saling menjaga hati. Hubungan
kita juga baik-baik saja sebelumnya!” Ujarku geram.
“Apa yang kita lakukan pun menuntun
kita berdua ke arah kebenaran. Kamu selalu membangunkanku untuk sholat malam.
Tak jarang juga aku yang membangunkanmu untuk sahur setiap senin dan kamis. Apa
itu buruk menurutmu?” Sambungku yang akhirnya berani untuk berpendapat.
“Kamu gadaikan ke mana keimananmu, Rasyid?!
Sadarlah bahwa setan tengah menertawakan kita, yang sudah masuk jebakan mereka.
Lihat apa yang kita lakukan. Kita tak lebih baik dari orang yang sedang
pacaran.” Sergahmu setengah teriak.
Hening pun kembali datang, seakan
mencoba menengahi kita.
“Aku takut, syif.” Bisikku
“Aku takut kehilanganmu. Aku takut
kamu akan pergi, meninggalkan kenangan tentang semua yang telah kita hadapi. Aku
takut, ukiran indah janji, tak dapat kita jalani.” Sambungku masih dengan
berbisik.
“Aku lebih takut dengan azab Allah”.
Jawabmu tanpa ragu.
Singkat. Akhirnya tiba masanya. Masa
ketika egoku akhirnya runtuh. Jawabanmu sukses membuat para setan yang tadinya
menertawakan kita sampai terbahak-bahak, menjadi tersedak. Ketakutanku atas ketidakpastian
perihal apakah kamu akan menjadi jodohku, perlahan pudar. Karena yang pasti,
jodohku di tangan Tuhan. Lantas apa yang harus aku khawatirkan?
Maka
atas nama ketidakpastian, Aku Menyerah.
***
Padahal sejak awal, semesta telah memberi
pertanda : bahwa ketidakpastian akan menjemputmu pulang, tanpa peduli luka
kecil ini, telah berubah menjadi lubang. Perihal lubang di hatiku, kamu tak
perlu khawatir. Perihal duka dalam dada, tak usah jadi bebanmu lagi.
Kehilangan membuatku sadar, betapa
pedihnya arti sebuah pengharapan. Kehilangan membuatku belajar, untuk tidak
menggantungkan harapanku, selain kepada yang Maha Pemilik Ilmu.
Di taman ini,Taman Bunga Nusantara, tempat yang menjadi saksi bisu saat kita
pernah sama-sama menjadi sepasang mahluk naif yang bercita-cita menaklukkan
dunia, aku termenung. Dan tersenyum. Kalau bukan karena tempat ini juga, aku
takkan pernah merasakan sakitnya pengharapan kepada ciptaan Tuhan. Getir memang
awalnya, tapi tak selamanya yang getir itu buruk untukku. Bahkan untukmu.
Terkadang, rasa rindu kerap kembali
menyapa. Berusaha membebaskan memori yang sudah dalam-dalam aku kubur. Tak
mengapa, aku paham betul konsep sederhana seperti ini. Rindu hanya punya satu
penawar : Temu.
Dan hari ini, kuputuskan untuk
membiarkan rasa rindu menang. Dalam perjalanan bertemu denganmu, diriku tak
lagi ragu. Walau jantungku berdegup kencang ketika telah berhadapan dengan
pintu rumahmu. Ku angkat tanganku untuk mengetuk pintu : Tanda diriku sudah
siap, untuk melamarmu.
***
akhirnya ada dialog juga! you go bang!!!!
BalasHapusakhirnya ada dialog juga! you go bang!!!!
BalasHapusAkhirnya ya Dil wkwk 😂😂
Hapus